Dibalik Tatapan Matanya


Dia duduk di sana. Di bangku baris depan ruang kuliah lantai 3 Fakultas Teknologi Pertanian. Seorang lelaki tegap dengan postur tubuh ideal. Tatapan matanya fokus, memburu sang dosen yang berjalan mondar-mandir sambil menerangkan materi kuliah yang bagiku masih begitu abstrak dan sulit aku pahami. Namun, bagi dia lain. Mata kuliah tersebut barangkali menarik baginya, terlihat dirinya begitu enjoy  menikmati sajian materi kuliah yang diberikan dosen. Sesekali tangannya yang kekar bergerak-gerak. Sebuah pena hitam dalam genggaman tangannya siap berlaga diatas kertas putih pada buku catatannya. Dia mulai menulis. Mencatat penjelasan-penjelasan  yang telah ditangkap otaknya, merangkumnya menjadi sebuah catatan penting sebagai pengingat kala 
memori  otak melupakannya. Terlihat kepalanya bergerak. Bergeleng ke kanan, ke kiri mengikuti nada irama tangannya dalam menulis. Lantas ditegakkan kembali kepalanya. Dengan pakaian batik cokelat bermotif modern tersebut dia nampak kharismatik. Berwibawa. Tatapan matanya tajam, memburu siapa saja yang ditangkap oleh retina matanya. Bening. Dalam lensa matanya aku berpikir untuk berkaca, inginkan aku yang dia lihat. Mata yang indah. Menghipnotis. Dalam sangkar kedua belah matanya aku tidak berkutik. Dia menengok. Dia menatap ku. Dia tersenyum pada ku. Ahh.. aku menunduk. Mengelak dari tatapan mata sang rupawan. Menghindar dari hiptonis yang dia pancarkan. Ooh… senyum yang indah. Diantara kedua belah pipinya yang cokelat, sawo matang, dia tawarkan secuil senyum semanis biscuit cokelat. Aku melihatnya. Aku mendapatkannya. Aku beroleh senyum itu. Senyum yang terkembang dibalik bibirnya yang membisu. Tanpa tanda, tanpa kata. Dia tersenyum. Untuk ku. Tentu.
Aku kembali mengawasinya. Busana batik cokelat itu kembali menarik perhatian ku. Rambut hitam bergelombang, berombak itu menyorot perhatian ku. Memandangnya, memperhatikannya setiap gerakan yang dia timbulkan. Rupanya dia mulai nampak bosan. Terlihat oleh ku, dia melirik jam tangan hitam di tangan kirinya. Lalu berusaha mencocokan jarum yang tertunjuk pada jam tangannya dengan jarum jam didepan muka kelas. Barangkali salah, pikirnya. Dirasa waktu berjalan begitu lamban. Sementara sang dosen masih terus menyajikan materi kuliah yang tertayang di layar muka kelas. Aku tidak menghiraukannya. Bahkan aku biarkan kertas catatan ku kosong, tanpa noda tinta setetes pun. Namun, otak ku masih gigih merekam kharismatik seorang lelaki yang duduk dimuka ruang tersebut. Aku mencatatnya. Menggambarnya. Lelaki tegap dengan tinggi rata-rata 160 cm duduk disana. Dia beranjak. Menggeser sedikit posisi tubuhnya. Barangkali pantatnya mulai penat, duduk diam dikursi selama kurag lebih 50 menit itu. Dengan membenahkan posisi duduknya, lalu dia rasa nyaman, dan dia telungkupkan kedua belah tangannya didepan dada. Menantang kebosanan yang mulai menggoda. Melawan kemalasan yang kian mendera. Digerakkan kedua sisi alisnya yang tebal, agar kedua matanya tetap tegar melawan kantuk. Ahh.. dia menguap. Suasana kelas yang begitu dingin karena efek AC dikedua sudut ruang tersebut menawarkan kemalasan hebat. Siapa yang sanggup menolak? Sementara diluar mendung, sang dosen asik bercerita mengenai materi kuliah dan hawa dingin yang menyelimuti. Ambooii.. nikmatnya jika tertidur. Namun, dia tidak. Dilayangkan pandangannya pada sebuah pena yang dia genggam. Lalu dia mainkan pena tersebut, beradu dengan lembaran kertas putih pada buku catatannya. Entah apa yang dia tulis. Barangkali dia menyalurkan sekelumit pikiran dalam benaknya. Mencoba mengusir kemalasan yang siap menyerbunya.
Aahh.. aku menghela nafas panjang.membiarkan mata ku sedikit bergerak, berpaling dari pusat perhatian ku sebelumnya. Aku tebarkan padangan ke sekeliling ruangan. Mungkin cukup lama aku memperhatikannya. Atau bahkan sekeliling mengetahui kala aku mengawasinya. Akankah mereka curiga dengan ulah ku? Aku berusaha untuk mengalihkan perhatian dengan berpura-pura melihat dosen. Lalu mengalihkan pandangan ke layar di muka yang penuh dengan tampilan materi kuliah. Ini keberuntungan ku. Tampilan materi tersebut memiliki arah yang sama dengan posisi dia. Tak ayal sudut pandang mata ku memandang tampilan materi dan memandangnya sekaligus. Aku memandangnya. Aku menunggunya. Menunggu dia menengok ke arah ku. Menunggunya berikan senyuman untuk ku. Namun, dia tidak. Dia fokus ke depan. Dia tidak menoleh. Tidak ada senyuman. Dia tidak bergeming. Dia berdiam diri. Aku menunggunya. Aku menantinya. Aku mengharapkannya. Dalam setiap menit yang aku lalui bersamanya. Aku menunggunya. Aku memandangnya. Matanya yang indah. Menghipnotis. Aku terhipnotis. Aku menunggu. Menunggunya. Senyum itu. Aku menanti. Menanti. Sekarang. Menanti. Nanti… nanti… nanti… nanti….



                                                                              Yogyakarta, 9 Maret 2012
                                                                              Hesti Kurniati

Tidak ada komentar: